Sabtu, 24 Januari 2015

Dialog Ulama Sufi dan Faqih

Yaitu antara Imam Ibnu Athaillah Assakandari dan Imam Ibnu Taimiyah, dan keduanya merupakan Ulama yang mumpuni pada era 650-700an hijriah, keduanya merupakan pusat perhatian banyak orang dalam hal keilmuan.

Yang pertama, Imam Ibnu Athaillah Assakandari lahir di Alexandria Mesir, sekitar tahun 658 H, ia dikenal sebagai seorang Ulama Sufi penyair yang juga banyak pengikutnya dan juga sebagai Guru besar di Al Azhar. Dan Yang kedua, Imam Taimiyah lahir di kota Harran Siria pada tahun 660 H, kita tahu bahwa Imam Ibnu Taimiyah merupakan seorang Faqih ternama yang pendapat-pendapatnya diikuti oleh banyak orang, dan iapun dikenal sebagai pengecam para sufi dizamannya.

Suatu ketika mereka berdua bertemu dan terjadilah sebuah dialog antara keduanya di Masjid Al Azhar,

Ibnu Athaillah (IA) : Saya bisa shalat magrib di masjid Alhusein dan shalat isya disini, Hm, lihatlah takdir Allah! saya ditakdirkan untuk menjadi orang yang pertama kali bertemu anda, Anda menyalahkan saya wahai Faqih?".

Ibnu Taimiyah (IT) : "Saya tahu bahwa anda tidak bermaksud menyakiti saya, yang terjadi hanyalah perbedaan pendapat. Hanya saja orang-orang yang memang sengaja menyakiti saya, sejak hari ini telah lepas dari diri saya." 

        (IA) : " Apa yang anda ketahui tentang diri saya, wahai Syeikh Ibnu Taimiyah?"
        (IT) : "Saya tahu bahwa anda seorang yang wara', banyak ilmu, cerdas dan jujur. saya bersaksi bahwa tidak pernah melihat di Mesir maupun Syam seorang yang seperti anda dalam hal cinta dan fana' kepada Allah Swt, dan dalam hal ketaatan terhadap perintah dan larangan-larangan-Nya. Namun bagaimanapun, terjadi perbedaan pendapat. Dan apa yang anda ketahui tentang diri saya, sampai anda menuduh saya sesat karena telah mengingkari Istighasah kepada selain Allah?"

        (IA) : "Saya heran kepada anda, wahai Faqih! anda seorang pendukung sunnah, hafal dan faham terhadap atsar-atsar, sempurna dalam pemikiran dan pemahaman. Namun anda telah melancarkan ungkapan-ungkapan orang yang dahulu dan sekarang menolak menggunakannya, hingga dalam hal ini anda telah keluar dari mazhab Imam anda, yaitu Imam Ahmad ibnu Hanbal dan Mazhab Imam-imam lainnya.
        (IT) : "Orang yang fanatik kepada Madzhab tertentu, seperti orang yang kecanduan. Tujuan orang yang fanatik kepada suatu Madzhab, agar dengan sendirinya ia bersikap bodoh terhadap ilmu, agama dan kodrat orang lain. Jadilah ia bersikap zalim, dan Allah Swt, melarang Manusia bersikap bodoh dan Zalim serta memerintahkan Ilmu dan Keadilan. Firmannya, 'dan manusia telah mengembannya (amanat) sungguh dia itu zalim dan bodoh.' Lihat saja Abu Yusuf dan Muhammad yang keduanya merupakan murid paling setia dan tahu tentang pendapat-pendapat Abu Hanifah! Mereka berbeda pendapat dengan syeikhnya dalam banyak masalah yang hampir tak terhitung jumlahnya, setelah mereka tahu dari sunnah dan argumen yang kuat sesuatu yang memang wajib mereka ikuti. Dalam hal ini mereka tetap menjunjung (menghormati) imam mereka. Dan saya mengatakan apa yang menurut saya ada dalilnya, tanpa maksud pura-pura dan menjilat. Saya kira tak seorangpun dari fuqaha zaman ini ada yang lebih cinta dan mengikuti langkah Rasulullah Saw daripada saya. Kalau saya tahu ada hadits sahih saya akan mengambilnya dan meninggalkan pendapat-pendapat para Imam. Begitu jugalah meraka menasihati diri mereka sendiri."

       (IA) : " Apa belum tiba waktunya bagi Anda wahai faqih untuk mengetahui bahwa Istighasah itu tidak lain adalah wasilah dan syafaat, dan bahwa Rasulullah Saw itu dimohonkan kepada beliau Istighasah, wasilah dan syafaat?.

        (IT) : "Dalam hal ini saya mengikuti sunnah mulia tersebut, dalam Hadits shahih dinyatakan, "Aku berikan syafaat". Dan atsar telah sepakat bahwa ayat, 'semoga Tuhanmu akan memberimu kedudukan terpuji' yang dimaksud dengan kedudukan terpuji tak lain adalah Syafaat. Dan Rasulullah Saw, saat ibu Amirul Muminin Ali Ra. meninggal, beliau berdoa kepada Allah Swt di kuburnya, 'Allah yang menghidupkan dan yang mematikan, Dia Maha hidup dan tidak mati. Ampunilah bagi ibuku, Fatimah Binti Asad, luaskanlah baginya kuburnya, demi Nabi-Mu dan para Nabi sebelumku. Engkaulah maha pengasih.' Inilah syafaat. Adapun Istighasah disitu ada syubhat syirik kepada Allah, oleh karena nya dilarang, untuk mencegah perbuatan yang tidak dikehendaki. Firman-Nya, 'janganlah engkau menyeru bersama Allah Sesuatu yang lain! Maha benar Allah. Dan Rasul Saw menyuruh sepupunya, Abdullah bin Abbas agar tidak minta tolong kepada selain Allah."

        (IA) : "Semoga Allah Swt memperbaiki anda wahai Faqih! Adapun nasihat Rasulullah Saw kepada Ibnu Abbas agar ia mendekatkan diri kepada Allah dengan amal perbuatannya, bukan dengan kekerabatannya kepada Rasul. Adapun pemahaman anda bahwa istighasah adalah permintaan tolong kepada selain Allah dan itu syirik, siapa diantara kaum muslimin yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya yang mengira bahwa selain Allah bisa melaksanakan qadha' dan qadar, memberi pahala dan siksa? Itu hanya istilah yang jangan hanya dilihat bentuk tersuratnya saja, dan tak perlu ditakutkan jadi syirik hingga harus dilarang agar tak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Setiap yang istighasah kepada Rasul, tidak lain adalah minta syafaat kepada beliau disisi Allah Swt. Sebagaimana misalnya, anda berkata, 'makanan ini telah mengenyangkan saya' Apakah makanan itu yang mengenyangkan anda ataukah Allah yang telah mengenyangkan Anda dengan makanan tersebut? Adapun perkataan anda bahwa Allah Swt, telah melarang kita menyeru selain-Nya, pernahkah anda melihat seorang muslim yang menyeru selain Allah? Ayat tadi turun berkenaan dengan kaum Musyrikin yang menyeru Tuhan mereka selain Allah Swt. Kalau kaum Muslimin istighasah kepada Nabi Muhammad Saw, tak lain adalah meminta wasilah yang menjadi hak beliau di sisi Allah Swt, dan meminta syafaat yang telah dianugerahkan Allah kepada beliau. Adapun pengharaman anda atas istighasah karena ia menuju pada syirik, bagaikan anda mengharamkan buah anggur karena ia menuju pada khamr. Atau bagaikan pengebirian kaum laki-laki yang tidak menikah, karena hal itu bisa menuju pada zina."

      Kedua syeikh itu sama-sama tertawa. Dan Ibnu Athaillah kemudian melanjutkan :
     
      "Saya tahu betapa luas pandangan syeikh Anda, Imam Ahmad, dan betapa luas pula cakupan pandangan fiqih Anda. Membendung ke arah yang tak dikehendaki (sadadz-zari'ah) dalam madzhab anda disyaratkan sesuai kondisinya. Yang dibolehkan untuk dilarang ialah apabila mengakibatkan kerusakan yang kebanyakannya memang terjadi, seperti pengharaman penjualan senjata pada zaman dimana banyak fitnah. Atau pengharaman penaikan harga bila dibayar secara mencicil, karena ditakutkan menuju riba. Mengambil makna lahir saja kadang-kadang bisa menjerumuskan kita kepada kekeliruan, wahai Faqih! Antara lain pendapat anda tentang Ibnu 'Arabi. Ia seorang imam agama yang wara'. Anda memahami tulisan-tulisannya secara lahiriyah saja.Sedangkan para sufi mengatakan sesuatu sering dengan isyarat dan celotehan ruhani. Kata-kata mereka sering dimaksudkan yang tersirat. Maka orang seperti Anda yang pintar, cerdas dan mengetahui baik ilmu bahasa, hendaknya mencari makna yang tersembunyi dibalik kata-kata yang tersurat. Makna Sufi itu seperti Ruh dan kata-kata seperti jasad. Maka carilah di balik jasad agar anda menemukan hakikat ruh. Lagi pula vonis anda terhadap ibnu Arabididasarkan atas teks yang sengaja diselipkan oleh para musuhnya. Adapun syeikhul Islam Izzuddin Ibnu Abdussalam setelah memahami tulisan-tulisan Ibnu 'Arabi dan memecahkan simbol-simbol misteri dan sugestinya, beliau segera minta ampun kepada Allah Swt, atas pendapat-pendapatnya sebelum itu dan menyatakan bahwa Ibnu 'Arabi seorang Imam Kaum Muslimin.

       Tentang perkataan asy-Syadzili, bukan abul Hasan Asy-Syadszili sendiri yang mengatakannya, tapi salah seorang muridnya. Dialah yang berkata tentang Syeikh Ibnu 'Arabi, dan tentang sebagian murid beliau yang memahami kata-katanya secara kurang benar."
     
       Ibnu Athaillah diam sejenak, kemudian bertanya: "Bagaimana pendapat anda tentang syeikh anda Imam Ahmad Ibnu Hanbal r.a.?"

       (IT) : "Imam Ahmad seorang yang lebih tahu dari orang lain tentang Al-qur'an, sunnah, pendapat para sahabat dan tabi'in. Oleh karena itu, hampir tak terdapat dalam pendapat-pendapatnya sesuatu yang bertentangan dengan nash, sebagaimana terdapat pada Imam-imam lain. Dan tak terdapat juga pendapat yang lemah, kecuali umumnya pendapat itu bersesuaian dengan pendapat yang lebih kuat. Juga pendapat-pendapatnya yang berbeda dengan yang lainnya, ternyata milik beliau lebih unggul, seperti penerimaan kesaksian non muslim terhadap kaum muslimin kalau memang diperlukanseperti wasiat dalam perjalanan serta masalah-masalah lain."

       (IA): "Bagaimana pendapat anda tentang Amirul Mukminin Ali Bin Abi Thalib?

       (IT): "Semoga Allah Swt Ridha dan meridhakannya. Dalam Hadits sahih Rasululullah Saw pernah bersabda, 'Akulah kota Ilmu dan Ali pintunya'. Dialah pejuang yang kalau bertanding dengan siapapun selalu mengalahkannya. Maka ia memberi contoh kepada para Ulama dan Fuqaha sesudahnya agar berjuang dijalan Allah dengan lisannya, pena dan pedangnya sekaligus. Dia -Semoga Allah Swt memuliakan Wajahnya - adalah seorang sahabat yang paling handal, kata-katanya merupakan pelita yang saya gunakan sebagai penerang hidup setelah Alqur'an dan Sunnah. Duhai betapa sedikitnya bekal kita dan betapa panjangnya perjalanan!"

       (IA): "Apaakah amirul mukminin Imam Ali R.a akan ditanyai nanti, siapa orang-orang yang telah mendukungnya, sampai mereka keterlaluan dan menyatakan bahwa Jibril telah keliru dan memberikan kerasulan kepada Muhammad sebagai ganti dari Ali? atau tentang mereka yang mengatakan bahwa Allah Swt telah merasuk kedalam tubuhnya, hingga jadilah imam Ali itu Tuhan? Bukankah kaum muslimin telah menyerang dan memerangi mereka? Dan bukankah para Ulama telah memfatwakan agar memerangi mereka di manapun mereka berada?"

       (IT): "Dengan Fatwa itulah saya telah memerangi mereka di pegunungan Syam sejak lebih sepuluh tahun yang lalu."

       (IA): "Dan Imam Ahmad r.a, apakah beliau akan ditanya tentang apa yang telah diperbuat oleh sementara pengikutnya seperti penggerebekan rumah-rumah, penumpahan khamr, pemukulan terhadap para penyanyi dan penari, penghadangan orang-orang di lorong-lorong dan jalan-jalan atas nama amar ma'ruf nahi mungkar? Apakah beliau berfatwa bahwa mereka harus di arak terbalik di atas punggung keledai? ataukah Imam Ahmad r.a bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan para awam madzhab hanbali yang melakukan hal itu sampai sekarang pun atas nama amar maruf nahi mungkar?"

       (IT): "Syeikh Muhyiddin Ibnu Arabi lepas dari perbuatan para pengikutnya yang menggugurkan kewajiban -kewajiban agama dan melakukan perbuatan-perbuatan haram. Bukankah begitu pendapat anda? Namun kemana Anda akan menghindar dari Allah Swt, sementara diantara anda sekalian ada yang berpendapat bahwa Nabi Saw  memberikan kabar baik kepada para fakir, bahwa mereka masuk surga sebelum orang-orang kaya. Maka orang fakir pun berjatuhan karena tertarik oleh Allah, dan mereka pada merobek pakaiannya. Waktu itulah turun Jibril a.s dan berkata kepada Nabi Saw bahwa Allah Swt menuntut bagian-Nya dari sedekah itu, maka Jibril a.s membawa salah satu pakaian tersebut dan menggantungkannya singgasana-Nya. Oleh sebab itu, para Sufi mengenakan pakaian bertambal dan menyebut diri mereka sebagai para fakir."

       (IA): "Tidak semua Sufi berpakaian begitu. Lihatlah saya yang sedang dihadapan Anda. Adakah yang anda tolak dari penampilan saya?"

       (IT): "Anda dari Orang-orang Syariat dan mengajar di Al-Azhar."
 
       (IA): "Dan Al-Ghazali juga orang syariat dan sekaligus imam Tasawuf. Ia memasuki hukum-hukum Agama dan sunnah-sunnahnya dengan ruh seorang mutasawwif. Dengan metode itulah ia bisa menghidupkan Ilmu-ilmu agama. Kami mengajari para Sufi bahwa kekotoran itu bukan bagian dari agama, dan bahwa kebersihan merupakan bagian dari Iman, serta sufi yang benar haruslah membangun kalbunya dengan iman sebagaimana yang dikenal dalam Ahlus Sunnah.

       Sejak 2 abad terakhir ini memang muncul diantara para Sufi hal-hal yang anda hindari itu, dimana sebagian mereka mengentengkan ibadah, puasa, shalat dan serta berpacu dalam kealpaan kepada Allah Swt dengan dalih bahwa mereka telah lepas dari belenggu. Kemudian mereka tidak puas terhadap keburukan-keburukan perbuatan mereka, sampai mereka menunjuk pada hakikat dan ahwal tertinggi, sebagaimana digambarkan oleh Al Qusyairi sang Imam Sufi agung. Maka beliau mengarahkan kepada mereka kitabnya, ar-Risalah, menggambarkan jalan Sufi kepada Allah, yaitu berpegang teguh pada al-Quran dan Sunnah.

       Para imam sufi menginginkan sampai pada hakikat, tidak dengan dalilrasional yang bisa menerima yang sebaliknya, namun dengan kejernihan kalbu, olah jiwa dan menjauhkan ilusi-ilusi keduniawian, hingga seorang hamba tidak disibukkan oleh selain cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Perhatian yang luhur ini menjadikannya seorang hamba yang salih, layak memakmurkan bumi dan memperbaiki hal-hal yang dirusak oleh ketamakan pada harta dan kegetolan pada gengsi, dan layak berjihad dijalan Allah."

       (IT): "Kata-kata tadi tertuju kepada Anda, bukan memihak Anda. Al-Qusyairi tatkala melihat pengikutnya sesat, ia bangkit menyadarkan mereka. Namun apa yang dilakukan oleh para syeikh sufi di zaman kita sekarang ini? Saya hanya menginginkan agar para sufi melangkah di jalan para salaf yang agung, yaitu para zahid sahabat, tabi'in dan yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya. Saya menghormati mereka yang berbuat demikian dan menurut saya mereka itu termasuk para Imam Agama. Adapun membuat-buat dan memasukkan ide-ide animistis dari para filosuf Yunani dan Budhisme India, seperti pretensi hulul, ittihad, wahdatul wujud dan yang semacam itu sebagaimana diserukan oleh sahabat Anda, jelas merupakam kekafiran yang nyata."

       (IA): "Ibnu Arabi seorang faqih Dhahir terbesar sesudah ibnu Hazm, Faqih Andalusia yang Anda hormati, wahai pengikut madzhab Hanbali! Dalam hal Syariat Ibnu Arabi menempuh jalan lahir, namun dalam hakikat ia menempuh jalan bathin, yaitu penyucian perangkat-perangkat bathin. Dan tidak semua ahli bathin itu sama. Agar anda tidak tersesat dan lupa, bacalah kembali Ibnu Arabi dengan pemahaman baru atas simbol-simbol dan sugesti-sugestinya. Anda akan menemukannya seperti Al-Qusyairi yang mengambil jalannya ke arah tasawuf di bawah naungan Al-Qur'an dan sunnah. Ia juga seperti Hujjatul Islam Syeikh Al-Ghazali yang menolak pertengkaran-pertengkaran madzhab dalam akidah dan Ibadah serta menganggapnya sebagai urusan yang tidak ada artinya, juga menyerukan agar cinta kepada Allah Swt. itulah yang mendasari jalan pengabdian di dalam iman. Adakah yang anda ingkari dalam hal ini wahai faqih? Ataukah anda mencintai perdebatan yang mengoyak-ngoyak ahli fiqih? Imam Malik R.a pernah memberi peringatan terhadap perdebatan dalam akidah dan kata Beliau, 'Setiap ada orang yang lebih pintar dalam berdebat dari yang lainnya, jadi berkuranglah agama.' Dan Al Ghazali berkata, 'ketahuilah bahwa yang berjalan menuju Allah Swt untuk memperoleh kedekataan dari-Nya adalah Qalbu, bukan badan. Qalbu yang dimaksudkan bukan gumpalan daging, melainkan salah satu misteri Allah yang tidak bisa ditangkap oleh indera.' Ahlus Sunnah itulah yang menjuluki Al- Ghazali syeikh para Sufi dengan sebutan hujjatul islam, dan tidak ada satu kritik pun atas pendapat-pendapatnya. Bahkan ada yang keterlaluan dalam menilai kitab ihya' ulumuddin dan berkata 'Kitab Ihya' hampir saja menjadi Alqur'an.'

      Adapun pelaksanaan kewajiban-kewajiban agama, menurut Ibnu Arabi dan Ibnu Alfaridh merupakan ibadah yang mihrabnya adalah bathin, bukan ritus-ritus lahiriah, apa artinya berdiri dan duduknya anda dalam shalat, kalau Qalbu anda sibuk dengan selain Allah? allah Swt telah memuji orang-orang dengan Firman-Nya, 'Dan mereka yang dalam shalatnya pada khusyu'.' Sebagaimana Dia mencela orang-orang dengan firman-Nya, 'Dan mereka yang dalam shalatnya pada lalai.' Demikianlah yang dimaksud oleh Ibnu Arabi dengan kata-katanya, 'Beribadah itu mihrabnya adalah Qalbu,' yaitu yang bathin, bukan yang lahir.Seorang muslim takkan sampai pada penghayatan ilmul yaqin dan 'ainul yaqin, kecuali setelah mengosongkan qalbunya dari hal-hal yang mericuhinya seperti ketamakan pada kehidupan dunia, dan memusatkan diri para perenungan batinnya, hingga dirinya akan terguyuroleh limpahan hakikat. Dari sinilah tumbuh kekuatannya. Maka Sufi yang sebenarnya bukanlah yang melolongi kekuatannya dan meminta-minta kepada orang lain, melainkan yang benar dan jujur serta memberikan ruh, qalbu dan fana' di dalam Allah dalam menaati-Nya. Dari sinilah tumbuh kekuatannya dan tiada takut kepada selain Allah. Mungkin Ibnu Arabi dimusuhi oleh sementara fuqaha, karena beliau meremehkan perhatian mereka terhadap perdebatan dalam akidah yang mencemari kejernihan Qalbu. Juga pendapat-pendapatnya tentang cabang-cabang fiqih dan perkiraan-perkiraanya, sampai ia menjuluki mereka fuqaha haid, dan saya mohon perlindungan Allah Swt agar anda tidak termasuk mereka itu.

     Pernahkah anda membaca pernyataan Ibnu Arabi, 'Barang siapa yang membangun imannya dengan argumen-argumen dan dalil-dalil, maka imannya tidak bisa dipercaya. Ia bisa terpengaruh oleh bantahan-bantahan orang. Keyakinan itu tidak bisa tumbuh dari dalil-dalil rasional, melainkan ditimba dari kedalaman Qalbu.' Pernahkah anda membaca kata-kata yang jernih dan sejuk itu'?"

     (IT): "Demi Allah, Anda telah berbuat yang terbaik. Kalau sahabat anda seperti yang anda katakan, maka dialah orang yang paling jauh dari kekafiran. Akan tetapi, kata-katanya tidak mengandung arti-arti yang demikian."

      (IA): Ia memiliki bahasa khusus yang penuh dengan isyarat, simbol, sugesti, misteri dan kelokan-kelokan. Namun, marilah kita kerja yang lebih berguna, yang bisa memenuhi kemaslahatan ummat. Mari kita cegah kezaliman dan jaga keadilah jangan sampai dilanggar. Anda sudah tahu apa yang telah diperbuat oleh dua orang Fasiq Bibris dan Salar terhadap rakyat jelata sejak An-Nasir mengundurkan diri dan mereka berdua menjadi penguasa tunggal? sekarang Sultan An-nasir telah kembali, mempercaya dan mau mendengarkan Anda. Maka cepatlah datang kepadanya dan nasehati beliau!"

                                                                                 ***  

       Begitulah percakapan antara dua orang Imam besar itu. Dan sebagaimana kata Ibnu Taimiyah, "Saya hanya menginginkan agar para sufi melangkah di jalan para salaf yang agung, yaitu para zahid sahabat, tabi'in dan yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya. Saya menghormati mereka yang berbuat demikian dan menurut saya mereka termasuk para Imam agama."

      Ada dua hal yang barang kali perlu kita perhatikan dalam dialog ini. Pertama, Ibnu Taimiyah sama sekali tidak apriori anti tasawuf. Sebab ada juga kalangan yang secara apriori anti tasawuf, konon hanya karena hanya merasa bangga mengikuti pemikiran-pemikiran Ibnu Taimiyah. Ironis sekali memang, karena beliau sangat menghargai para sufi seperti Imam Ibnu Athaillah sendiri, Imam Al Qusyairi dll. Bahwa Ibnu Taimiyah melakukan kritik yang cukup keras terhadap orang-orang yang memasuki dunia tasawuf dan sering melanggar garis Al-Qur'an dan Sunnah itu memang terjadi dan perlu perhatian.

       Kedua, kritik Ibnu Athaillah terhadap Ibnu Taimiyah tentang kebiasaannya menggunakan kata-kata yang begitu tajam dan pedas dalam mengecam lawan-lawannya, yang hal ini tidak pernah digunakan dan ditolak oleh para ulama sebelumnya, apalagi oleh Nabi Saw, dan para sahabatny. Ibnu Taimiyah yang selalu mengecam orang-orang yang dianggapnya telah keluar dari garis Al quran dan Sunnah semestinya juga harus konsekuen dengan hal itu. Garis Al-Qur'an dan Sunnah adalah, "Mengajak orang ke jalan Tuhanmu dengan cara-cara yang bijaksana dengan nasihat-nasihat yang baik dan perdebatan yang sebaik-baiknya." (Qs. an-Nahl:125). Bukan dengan cara mengecam dan memaki-maki orang lain dengan kata-kata pedas, seperti bid'ah, masuk neraka, khurafat, syirik, murtad, kafir dan lain-lain. Cara yang demikian malah menyakitkan orang dan membuat perpecahan di kalangan Ummat. Dan Hal ini masih terus ditiru sampai sekarang oleh sementara orang yang konon membanggakan diri sebagai pengikut Ibnu Taimiyah.

        Mudah-mudahan kita bisa mengambil pelajaran dari dialog tersebut.
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Sumber: Buku Sepintas SASTRA SUFI Tokoh dan Pemikirannya / oleh M. Fudoli Zaini.- Surabaya : Risalah Gusti, 2000.